Jika Ekonomi RI Tumbuh 7%, Tak Perlu Lagi Jadi TKI
By Admin
nusakini.com--Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di awal periodenya menargetkan pertumbuhan ekonomi harus di atas 7%. Hanya dengan posisi tersebut, lapangan pekerjaan dapat diciptakan dan ke depan orang Indonesia tidak perlu lagi menjadi tenaga kerja di luar negeri, khususnya pembantu rumah tangga.
Menko Perekonomian Darmin Nasution menuturkan, rata-rata 2,5 juta orang Indonesia mencari pekerjaan setiap tahun. Sulit untuk mencukupi kebutuhan itu bila perekonomian Indonesia tumbuh dengan sangat lambat pada level yang rendah.
"Dilihat dengan tingkatkan ekonomi kita itu kita memerlukan pertumbuhan sebenarnya di atas 7% untuk menyerap tambahan angkatan kerja itu. Kalau bisa di atas 7% kita tidak perlu lagi mengharapkan TKI, yang saya maksud itu pembantu rumah tangga," kata Darmin.
Darmin tidak melarang orang bekerja ke luar negeri. Akan tetapi diharapkan pekerjaan yang didapatkan tentu yang lebih mengandalkan sisi kualitas pekerjaan. Tentunya pendapatan bagi orang Indonesia akan lebih besar.
"TKI dirancang bagus, yang punya sertifikat, perawat, atau di supermarket atau apa," papar Darmin.
Darmin menjelaskan, untuk merealisasikan ekonomi bisa tumbuh sampai dengan 7% sangat sulit. Apalagi dengan posisi perekonomian dunia yang tengah melambat atau dengan kata lain abnormal, sebab banyak negara yang justru mengalami resesi. Indonesia pun masih beruntung dengan capaian 4,8% pada 2015.
"Kita harus keluar dari situasi abnormal dunia," tegasnya.
Konsumsi rumah tangga masih bisa terjaga pada level yang tinggi dan berkontribusi besar terhadap perekonomian domestik. Ekspor berada dalam posisi cukup besar, karena rendahnya harga komoditas dan industri manufaktur yang belum berkembang. Belanja pemerintah terbatas, meski sudah dilakukan reformasi pada subsidi energi.
Maka pilihan selanjutnya adalah investasi. Darmin menjelaskan, investasi yang dimungkinkan besar dapat ditarik adalah untuk pembangunan infrastruktur. Bukan manufaktur. Meskipun industri manufaktur juga penting untuk dikembangkan.
"Kalau kita tak berani mendorong perkembangan infrastruktur, kita sudah pasti ikut arus perlambatan," imbuhnya.
Pertimbangan investor ketika ingin masuk ke suatu negara untuk membangun infrastruktur adalah kondisi negara tersebut dalam kurun waktu 5-6 tahun lagi. Sekarang ekonomi Indonesia tumbuh masih relatif tinggi dibanding kebanyakan negara lain, jumlah penduduk 250 juta orang dan masih banyak infrastruktur yang belum tersedia.
Dengan kondisi tersebut, tidak ada alasan bagi perusahaan multinasional dari negara maju seperti Jepang, Eropa, Amerika Serikat (AS) bahkan China untuk berinvestasi di Indonesia.
"Investor asal punya gambaran Indonesia seperti apa, dia lebih berani," ujar Darmin.
Sementara untuk mengundang investor di bidang manufaktur lebih sulit. Sebab pertimbangan utamanya adalah kondisi perekonomian dunia. Bila ekonomi melambat maka permintaan terhadap produk yang dihasilkan tentunya terus berkurang.
"Kalau mengundang investor industri, itu pertimbangannya dunia bagaimana sekarang, permintaan global bagaimana, permintaan Indonesia bagaimana. Kalau dibaca situasi sekarang itu tidak abnormal," tandasnya.
Dampak pembangunan infrastruktur terhadap perekonomian memang bertahap. Tahap awal, pengaruhnya baru menyentuh sisi permintaan barang terhadap bahan baku. Seperti semen, besi, baja, dan yang lainnya. Secara penuh dampaknya baru terasa setelah selesai, yaitu sekitar 5-6 tahun lagi.
"Infrastruktur itu baru full dampaknya kalau dia selesai. Kemudian dari itu menarik kegiatan lain. Kalau jalan tol dilewati oleh produksi lain, truk, mobil, dan lainnya itu baru bekerja," pungkasnya.(p/ab)